6
Tidak mirip dengan kejadian yang dialami oleh kapal Titanic, namun kisah pedih Perahu Phinisi Nusantara yang dioperasikan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sama, yakni kandas di tengah perairan ketika hendak mengantarkan para penumpangnya. Bedanya Phinisi Nusantara tidak kandas ketika menyeberangi samudera luas dan riwayat suram dalam masalah keuangan senantiasa membelit perjalanan hidup perahu ini.
Dalam film Titanic digambarkan betapa kapal uap berteknologi canggih pada masanya tersebut tenggelam setelah menabrak gunung es di tengah samudera Atlantik dan menelan banyak korban jiwa. Sementara itu, penumpang Perahu tradisional Phinisi Nusantara yang terdampar di Pulau Karang Musi, Kepulauan Seribu, Minggu (15/9) semuanya selamat. Phinisi yang pernah berhasil menyeberangi Samudera Pasific tersebut rencananya hendak joy sailing membawa para siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) se-DKI Jakarta mengenali laut. Kapal wisata yang pada tanggal 13 September 2002 genap berusia 16 tahun itu dan baru akan dirayakan pada minggu berikutnya terdampar di perairan karang karena terbawa oleh angin. Sampai saat ini, dia masih terendam menunggu bantuan dari siapa saja yang peduli kepadanya. Dengan separuh lambung perahu tersangkut di karang, geladak porak-poranda, tiang layar depan (fore sail) terapung di air dan layar Jib yang tercabik serta keheningan di tengah kabut yang mencekam, demikianlah kondisi Perahu layar tradisional Phinisi Nusantara.
Menuju Vancouver
Jika sejenak kita tengok ke belakang dari sejarahnya, Perahu ini berhasil melakukan pelayaran perdananya menyeberangi Samudera Pasifik menuju ke Vancouver, Kanada, 9 Juli 1986 silam. Di pelabuhan Marine Plaza, Phinisi Nusantara banyak mendapat kunjungan dari masyarakat Vancouver.
Perahu tradisional tersebut sangat diminati oleh para pengunjung karena Perahu yang terbuat dari kayu itu dengan gagah berani menyeberangi lautan Pasifik yang maha dahsyat. Waktu itu, kunjungan masyarakat Vancouver ke Phinisi Nusantara setiap harinya cukup ramai, rata-rata sekitar 3.000 orang. Puncaknya pada 21 September 1986, Perahu tersebut didatangi sekitar 25.000 pengunjung. Masyarakat Vancuover sendiri juga mempunyai sejarah maritim yang tua dan tetap dipelihara dengan tekun, sehingga, kehadiran perahu-perahu layar seperti Phinisi Nusantara yang memiliki reputasi internasional ini pastilah mendapat sambutan hangat.
Namun demikian, minat untuk membeli Perahu ini sama sekali tidak hebat. Bahkan setelah satu minggu Phinisi Nusantara tertambat di Marine Plaza, belum ada sebuah penawaran pun yang masuk. Panitia pusat yang berada di Jakarta, Menteri Keuangan JB Sumarlin sekaligus selaku penanggungjawab EXPO '86 Indonesia, mengambil langkah mengumpulkan para Konsorsium Minyak Amerika di Indonesia untuk membeli Phinisi Nusantara dan disumbangkan kepada sebuah badan atau yayasan yang berhubungan dengan kelautan. Usaha itu pun akhirnya berhasil mengumpulkan dana sebesar 25.000 dolar AS. Jumlah tersebut dapat menutupi biaya pembuatan dan perjalanan Perahu ini.
Selain itu, pada awalnya Perahu itu juga diproyeksikan akan berpartisipasi dalam arena mancanegara pada EXPO '86 yang bertema "World in Motion, World in Touch" dan usai mengikuti acara itu maka Perahu akan diserahkan kepada pihak Institute of Oceanography, University of California, San Diego (UCSD). Namun ternyata pejabat yang berwenang mewakili Universitas yaitu Dr Donald J Raidt belum bersedia menandatangani naskah serah terima sebelum ada kepastian agar Phinisi Nusantara direnovasi dulu sehingga memenuhi standar Biro Klasifikasi AS (American Bureau of Shipping) dan hal tersebut terkendala dengan besarnya biaya, yaitu sekitar 500.000 dolar AS.
Source Gambar : BONTOBAHARI FB COMMUNITY
Baca Selengkapnya...
Phinisi Nusantara Bagian Dari Sejarah Republik Indonesia

Dalam film Titanic digambarkan betapa kapal uap berteknologi canggih pada masanya tersebut tenggelam setelah menabrak gunung es di tengah samudera Atlantik dan menelan banyak korban jiwa. Sementara itu, penumpang Perahu tradisional Phinisi Nusantara yang terdampar di Pulau Karang Musi, Kepulauan Seribu, Minggu (15/9) semuanya selamat. Phinisi yang pernah berhasil menyeberangi Samudera Pasific tersebut rencananya hendak joy sailing membawa para siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) se-DKI Jakarta mengenali laut. Kapal wisata yang pada tanggal 13 September 2002 genap berusia 16 tahun itu dan baru akan dirayakan pada minggu berikutnya terdampar di perairan karang karena terbawa oleh angin. Sampai saat ini, dia masih terendam menunggu bantuan dari siapa saja yang peduli kepadanya. Dengan separuh lambung perahu tersangkut di karang, geladak porak-poranda, tiang layar depan (fore sail) terapung di air dan layar Jib yang tercabik serta keheningan di tengah kabut yang mencekam, demikianlah kondisi Perahu layar tradisional Phinisi Nusantara.
Menuju Vancouver
Jika sejenak kita tengok ke belakang dari sejarahnya, Perahu ini berhasil melakukan pelayaran perdananya menyeberangi Samudera Pasifik menuju ke Vancouver, Kanada, 9 Juli 1986 silam. Di pelabuhan Marine Plaza, Phinisi Nusantara banyak mendapat kunjungan dari masyarakat Vancouver.
Perahu tradisional tersebut sangat diminati oleh para pengunjung karena Perahu yang terbuat dari kayu itu dengan gagah berani menyeberangi lautan Pasifik yang maha dahsyat. Waktu itu, kunjungan masyarakat Vancouver ke Phinisi Nusantara setiap harinya cukup ramai, rata-rata sekitar 3.000 orang. Puncaknya pada 21 September 1986, Perahu tersebut didatangi sekitar 25.000 pengunjung. Masyarakat Vancuover sendiri juga mempunyai sejarah maritim yang tua dan tetap dipelihara dengan tekun, sehingga, kehadiran perahu-perahu layar seperti Phinisi Nusantara yang memiliki reputasi internasional ini pastilah mendapat sambutan hangat.
Namun demikian, minat untuk membeli Perahu ini sama sekali tidak hebat. Bahkan setelah satu minggu Phinisi Nusantara tertambat di Marine Plaza, belum ada sebuah penawaran pun yang masuk. Panitia pusat yang berada di Jakarta, Menteri Keuangan JB Sumarlin sekaligus selaku penanggungjawab EXPO '86 Indonesia, mengambil langkah mengumpulkan para Konsorsium Minyak Amerika di Indonesia untuk membeli Phinisi Nusantara dan disumbangkan kepada sebuah badan atau yayasan yang berhubungan dengan kelautan. Usaha itu pun akhirnya berhasil mengumpulkan dana sebesar 25.000 dolar AS. Jumlah tersebut dapat menutupi biaya pembuatan dan perjalanan Perahu ini.
Selain itu, pada awalnya Perahu itu juga diproyeksikan akan berpartisipasi dalam arena mancanegara pada EXPO '86 yang bertema "World in Motion, World in Touch" dan usai mengikuti acara itu maka Perahu akan diserahkan kepada pihak Institute of Oceanography, University of California, San Diego (UCSD). Namun ternyata pejabat yang berwenang mewakili Universitas yaitu Dr Donald J Raidt belum bersedia menandatangani naskah serah terima sebelum ada kepastian agar Phinisi Nusantara direnovasi dulu sehingga memenuhi standar Biro Klasifikasi AS (American Bureau of Shipping) dan hal tersebut terkendala dengan besarnya biaya, yaitu sekitar 500.000 dolar AS.
![]() |
PHINISI NUSANTARA (Dermaga Marine Plaza Vancouver Canada, 1986) |
![]() |
ABK Phinisi Nusantara Disambut denganTarian Khas Sulawesi Selatan |
![]() |
Para ABK Phinisi Nusantara Di Terima Oleh Presiden Suharto Diruang Kerjanya |
![]() |
Suasana Penjemputan ABK Phinisi Nusantara Di Dermaga Marine Plaza Vancouver Canada |
![]() |
Suasana Penjemputan ABK Phinisi Nusantara Di Dermaga Marine Plaza Vancouver Canada |
![]() |
Suasana Penjemputan ABK Phinisi Nusantara Di Dermaga Marine Plaza Vancouver Canada |
![]() |
melewati jembatan False Creek memasuki Pelabuhan Vancouver Kanada di kawal oleh 2 kapal kano ( perahu asli tradisional suku Indian ) dan di belakang kapal perang Angkatan Laut Amerika |
![]() |
ABK Phinisi Nusantara |
![]() |
ABK Phinisi Nusantara |
10

Pelayaran "Puncak Merah Putih" ke Krakatau berlangsung selama tiga hari antara tanggal 16-18 Agustus 2002. Phinisi Nusantara mulai bertolak dari dermaga pelabuhan II milik TNI AL sekitar pukul sembilan pagi. Sejak berada di Jakarta Phinisi, tertambat di sini. Tertambatnya Phinisi di sini seakan mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap Perahu layar tradisional yang sempat mengharumkan nama banga Indonesia di mata dunia internasional.
Di dermaga, Phinisi hanya tertambat pada sebuah kapal TNI AL yang tengah merapat. Menuju ke Phinisi, orang mesti melewati jembatan kayu yang bolong di beberapa tempat. Kalau kurang hati-hati, bisa tercebur ke dalam air yang hitam dan penuh sampah di bawah dermaga. Jelas, kondisi lingkungan semacam itu tak sesuai bagi Phinisi Nusantara yang sekarang justru berfungsi sebagai kapal layar wisata. Pemandangan kurang menyenangkan ini memang sirna sejalan dengan berputarnya baling-baling kapal yang membawa Phinisi keluar dari tempat tinggalnya yang tidak sehat itu.
Sebagai Perahu layar yang berada di bawah bendera TNI AL, saat melewati lorong hingga pintu dermaga, awak dan penumpang Phinisi Nusantara mesti mengikuti prosedur layaknya anggota TNI AL yang hendak bertugas mengawal perairan Indonesia. Seluruh awak dan penumpang "wajib" berdiri menghadap ke dermaga dan kapal perang yang tengah tertambat. Ketika berpapasan, baik awak Phinisi maupun TNI AL meniup peluit dan saling memberi hormat.
Ini prosedur yang mesti kita lakukan setiap kali ada kapal yang hendak berlayar," kata Gita Arjakusumah, mantan nakhoda Phinisi Nusantara yang pensiunan perwira menengah TNI AL. Gita pula yang sukses membawa Phinisi melayari laut sejauh 11.000 mil dari Jakarta ke Vancouver, Kanada selama 62 hari.
Satu jam lepas dari pintu dermaga, awak Phinisi mulai mengembangkan tujuh layar Phinisi: tiga layar depan (jip sails), dua layar utama (main sails), dan dua layar puncak (top sails). Dengan tujuh layarnya ini, kecepatan maksimum Phinisi yang sekitar 5-6 knot bisa terdongkrak sampai lebih dari 7 knot. Namun semua tergantung dari kecepatan dan arah angin yang menerpa layarnya. Sayang ketika itu, angin hanya berhembus sepoi-sepoi, sehingga tujuh layar yang berkembang tak banyak membantu. Awak dan penumpang pun harus rela melaju 5-6 knot menyusur lepas pantai.
Kecepatan melonjak antara 9-11 knot justru ketika Phinisi berada di tengah-tengah terjangan ombak Selat Sunda. Ketika itu hari sudah gelap. Semua awak dan penumpang telah selesai menyantap makan malam dan tengah meninabobokan mata masing-masing.
Sebagian masuk kabin di dalam perut kapal, sebagian lagi tidur-tiduran di atas geladak kapal. Seiring dengan perputaran waktu, ombak pun makin lama makin kencang. seisinya mulai terombang ambing. Cipratan air sesekali membasahai geladak kapal dan penumpang yang tidur di atasnya. Dari dapur, dua kali terdengar piring dan gelas berjatuhan. Sesekali bunyi decit gesekan kayu dan bantingan pintu kamar dan kamar mandi semakin menambah seram suasana. Suasana itu berlangsung sekitar enam jam, sejak Phinisi menyeberang Selat Sunda. Tak ayal, sejumlah penumpang harus rela mengeluarkan kembali makan malamnya. Sebagian lainnya sekadar mual-mual dan puyeng.
Baca Selengkapnya...
Pelayaran Puncak Merah Putih Phinisi Nusantara

Pelayaran "Puncak Merah Putih" ke Krakatau berlangsung selama tiga hari antara tanggal 16-18 Agustus 2002. Phinisi Nusantara mulai bertolak dari dermaga pelabuhan II milik TNI AL sekitar pukul sembilan pagi. Sejak berada di Jakarta Phinisi, tertambat di sini. Tertambatnya Phinisi di sini seakan mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap Perahu layar tradisional yang sempat mengharumkan nama banga Indonesia di mata dunia internasional.
Di dermaga, Phinisi hanya tertambat pada sebuah kapal TNI AL yang tengah merapat. Menuju ke Phinisi, orang mesti melewati jembatan kayu yang bolong di beberapa tempat. Kalau kurang hati-hati, bisa tercebur ke dalam air yang hitam dan penuh sampah di bawah dermaga. Jelas, kondisi lingkungan semacam itu tak sesuai bagi Phinisi Nusantara yang sekarang justru berfungsi sebagai kapal layar wisata. Pemandangan kurang menyenangkan ini memang sirna sejalan dengan berputarnya baling-baling kapal yang membawa Phinisi keluar dari tempat tinggalnya yang tidak sehat itu.
Sebagai Perahu layar yang berada di bawah bendera TNI AL, saat melewati lorong hingga pintu dermaga, awak dan penumpang Phinisi Nusantara mesti mengikuti prosedur layaknya anggota TNI AL yang hendak bertugas mengawal perairan Indonesia. Seluruh awak dan penumpang "wajib" berdiri menghadap ke dermaga dan kapal perang yang tengah tertambat. Ketika berpapasan, baik awak Phinisi maupun TNI AL meniup peluit dan saling memberi hormat.
Ini prosedur yang mesti kita lakukan setiap kali ada kapal yang hendak berlayar," kata Gita Arjakusumah, mantan nakhoda Phinisi Nusantara yang pensiunan perwira menengah TNI AL. Gita pula yang sukses membawa Phinisi melayari laut sejauh 11.000 mil dari Jakarta ke Vancouver, Kanada selama 62 hari.
Satu jam lepas dari pintu dermaga, awak Phinisi mulai mengembangkan tujuh layar Phinisi: tiga layar depan (jip sails), dua layar utama (main sails), dan dua layar puncak (top sails). Dengan tujuh layarnya ini, kecepatan maksimum Phinisi yang sekitar 5-6 knot bisa terdongkrak sampai lebih dari 7 knot. Namun semua tergantung dari kecepatan dan arah angin yang menerpa layarnya. Sayang ketika itu, angin hanya berhembus sepoi-sepoi, sehingga tujuh layar yang berkembang tak banyak membantu. Awak dan penumpang pun harus rela melaju 5-6 knot menyusur lepas pantai.
Kecepatan melonjak antara 9-11 knot justru ketika Phinisi berada di tengah-tengah terjangan ombak Selat Sunda. Ketika itu hari sudah gelap. Semua awak dan penumpang telah selesai menyantap makan malam dan tengah meninabobokan mata masing-masing.
Sebagian masuk kabin di dalam perut kapal, sebagian lagi tidur-tiduran di atas geladak kapal. Seiring dengan perputaran waktu, ombak pun makin lama makin kencang. seisinya mulai terombang ambing. Cipratan air sesekali membasahai geladak kapal dan penumpang yang tidur di atasnya. Dari dapur, dua kali terdengar piring dan gelas berjatuhan. Sesekali bunyi decit gesekan kayu dan bantingan pintu kamar dan kamar mandi semakin menambah seram suasana. Suasana itu berlangsung sekitar enam jam, sejak Phinisi menyeberang Selat Sunda. Tak ayal, sejumlah penumpang harus rela mengeluarkan kembali makan malamnya. Sebagian lainnya sekadar mual-mual dan puyeng.
6
KLM PHINISI NUSANTARA yang melakukan pelayaran Jakarta - Vancouver (Kanada). Misi
ini merupakan dari keikutsertaan bangsa Indonesia dalam rangka EXPO 86 Vancouver.
KLM PHINISI NUSANTARA merupakan kapal layar asli buatan bangsa Indonesia yang dibuat khusus oleh para ahli dari Tanaberu Bontobahari, Ujung Pandang (sekarang makasar). Konsepnya dibuat secara tradisional, tetapi dilengkapi dengan navigasi dan telekomunikasi yang canggih seperti peralatan komunikasi menggunakan satelit Inmarsat, yang merupakan sistem telkom tercanggih saat itu. Untuk tanda panggil (call sign) Perahu ini menggunakan kode YDYN.
Beberapa awak kapal yang ikut dalam pelayaran ini antara lain, Gita Ardjakusuma, pelaut dengan ijazah MPB I. Ia juga lulusan AAL Surabaya tahun 1968. Dalam pelayaran ini, ia bertindak sebagai nahkoda kapal. Kemudian berturut-turut Atok Issoluchi sebagai kepala kamar mesin, Amrillah Hasan (masinis), Mappagau (kepala kelasi), Rusli dan Muhammad Hatta (juru minyak), Hasyim (mualim II), Roy Rusdiman (juru masak), Bahtiar, Abdullah (pembantu umum) serta Pius Caro (wartawan KOMPAS).
Tepat, tanggal 9 juli 1986 dari dermaga Muara Baru Jakarta, Phinisi Nusantara dilepas secara resmi oleh Laks. Sudomo memulai petualangan baharinya. Rute yang diambil adalah Jakarta - Singapore, Singapore - Hongkong, Hongkong - Yokohama dan Yokohama - Vancouver. Tetapi karena pada waktu itu terjadi topan di perairan filiphina dan bagian selatan kepulauan jepang, maka satu-satunya jalan ialah menyusuri daerah katulistiwa ke arah timur dengan singgah di Honolulu, hawai. Rute yang terakhir inilah yang kemudian ditempuh.
Setelah melewati perjalanan panjang nan melelahkan selama 62 hari dan menempuh lebih kurang 10.600 mil dari Jakarta, PHINISI NUSANTARA tiba di Vancouver Canda. Ketika itu yang menyambut pertama kali adalah Adiwoso Abubakar, Duta besar Indonesia disana. Di arena EXPO 86 Vancouver tersebut, kapal tersebut bersanding dengan kapal duta bangsa lainnya, seperti Nippon maru milik Jepang.
Ditulis dengan gaya bahasa yang renyah, Pius Caro bisa menghadirkan pengalaman-pengalaman selama mengarungi samudera menjadi tulisan yang menarik untuk dibaca. Misalkan, ketika awak kapal harus berjuang mati-matian melewati badai Topan disamudera pasifik selama empat hari. Diceritakan. selama empat hari tersebut mereka harus "dipaksa" tidur dalam keadaan terombang-ombing gelombang besar. Bahkan, beberapa awak kapal sudah bersiap-siap dengan pelampung dan surat-surat penting yang dibungkus dengan plastik yang dikalungkan. Ketika ditanya penulis "untuk apa", mereka menjawab "Siap-siap, jika sewaktu-waktu tenggelam".
Ada juga kisah lucu, bagaimana awak kapal membunuh waktu dengan memancing sepanjang hari, tetapi justru menjadi bahan godaan rekan-rekan mereka yang lain. Bagaimana tidak? tarikan senar pancing yang menguat bukannya oleh ikan, tetapi sengaja ditarik oleh teman sendiri lewat buritan (belakang kapal).
Orang-orang yang tiap hari ditempa oleh ganasnya laut ternyata menjadi pribadi yang lebih hangat, bersahabat serta disiplin. Para pelaut selalu mengedepankan filosofi "dilaut kita bersaudara"
Baca Selengkapnya...
Kisah Perjalanan Phinisi Nusantara Menuju Vancouver Canada

ini merupakan dari keikutsertaan bangsa Indonesia dalam rangka EXPO 86 Vancouver.
KLM PHINISI NUSANTARA merupakan kapal layar asli buatan bangsa Indonesia yang dibuat khusus oleh para ahli dari Tanaberu Bontobahari, Ujung Pandang (sekarang makasar). Konsepnya dibuat secara tradisional, tetapi dilengkapi dengan navigasi dan telekomunikasi yang canggih seperti peralatan komunikasi menggunakan satelit Inmarsat, yang merupakan sistem telkom tercanggih saat itu. Untuk tanda panggil (call sign) Perahu ini menggunakan kode YDYN.
Beberapa awak kapal yang ikut dalam pelayaran ini antara lain, Gita Ardjakusuma, pelaut dengan ijazah MPB I. Ia juga lulusan AAL Surabaya tahun 1968. Dalam pelayaran ini, ia bertindak sebagai nahkoda kapal. Kemudian berturut-turut Atok Issoluchi sebagai kepala kamar mesin, Amrillah Hasan (masinis), Mappagau (kepala kelasi), Rusli dan Muhammad Hatta (juru minyak), Hasyim (mualim II), Roy Rusdiman (juru masak), Bahtiar, Abdullah (pembantu umum) serta Pius Caro (wartawan KOMPAS).
Tepat, tanggal 9 juli 1986 dari dermaga Muara Baru Jakarta, Phinisi Nusantara dilepas secara resmi oleh Laks. Sudomo memulai petualangan baharinya. Rute yang diambil adalah Jakarta - Singapore, Singapore - Hongkong, Hongkong - Yokohama dan Yokohama - Vancouver. Tetapi karena pada waktu itu terjadi topan di perairan filiphina dan bagian selatan kepulauan jepang, maka satu-satunya jalan ialah menyusuri daerah katulistiwa ke arah timur dengan singgah di Honolulu, hawai. Rute yang terakhir inilah yang kemudian ditempuh.
Setelah melewati perjalanan panjang nan melelahkan selama 62 hari dan menempuh lebih kurang 10.600 mil dari Jakarta, PHINISI NUSANTARA tiba di Vancouver Canda. Ketika itu yang menyambut pertama kali adalah Adiwoso Abubakar, Duta besar Indonesia disana. Di arena EXPO 86 Vancouver tersebut, kapal tersebut bersanding dengan kapal duta bangsa lainnya, seperti Nippon maru milik Jepang.
Ditulis dengan gaya bahasa yang renyah, Pius Caro bisa menghadirkan pengalaman-pengalaman selama mengarungi samudera menjadi tulisan yang menarik untuk dibaca. Misalkan, ketika awak kapal harus berjuang mati-matian melewati badai Topan disamudera pasifik selama empat hari. Diceritakan. selama empat hari tersebut mereka harus "dipaksa" tidur dalam keadaan terombang-ombing gelombang besar. Bahkan, beberapa awak kapal sudah bersiap-siap dengan pelampung dan surat-surat penting yang dibungkus dengan plastik yang dikalungkan. Ketika ditanya penulis "untuk apa", mereka menjawab "Siap-siap, jika sewaktu-waktu tenggelam".
Ada juga kisah lucu, bagaimana awak kapal membunuh waktu dengan memancing sepanjang hari, tetapi justru menjadi bahan godaan rekan-rekan mereka yang lain. Bagaimana tidak? tarikan senar pancing yang menguat bukannya oleh ikan, tetapi sengaja ditarik oleh teman sendiri lewat buritan (belakang kapal).
Orang-orang yang tiap hari ditempa oleh ganasnya laut ternyata menjadi pribadi yang lebih hangat, bersahabat serta disiplin. Para pelaut selalu mengedepankan filosofi "dilaut kita bersaudara"
3
Pantai Mandala Ria, terletak di Desa Lembanna Ara, sekitar 11 Km dari Bira. Untuk mencapai tempat ini memerlukan waktu tempuh sekitar 15 menit. Dinamakan Mandala Ria, karena di tempat inilah Panglima Mandala memesan 24 Kapal pendarat dalam rangka pembebasan IRIAN JAYA dari kolonial BELANDA, saat ini Tugu pembabasan Irian Barat berdiri kokoh di Kota Makassar.
Baca Selengkapnya...
Objek Wisata Pantai Mandala Ria Di Bontobahari


Selain pantainya yang berpasir putih, terdapat pula tempa-tempat menarik untuk dikunjungi, yakni Goa Passohara yang didalamnya terdapat sumber mata air. Di tempat ini pula banyak wisatawan selain di Tanjung Bira banyak melewatkan waktunya untuk berenang.
Tidak jauh dari tempat tersebut, terdapat pula Doa Passea yang merupakan situs pemakaman, dalam perjalanan menuju Pantai Mandala Ria, di sisi kiri dan kanan jalan, Anda akan melihat rumah-rumah panggung dengan khas tersendiri dimana anjungan rumah dan lisplan diukir.
Dari Pantai Mandala Ria, Anda dapat melanjutkan perjalanan ke Makam Dato Tiro, Pantai Samboang dan Permandian Alam Hila-Hila.
4
Terletak di Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang, berjarak 56Km dari Ibu Kota Kabupaten Bulukumba, kawasan ini tampak unik dan berbeda dengan daerah lainnya.
Keteguhan Masyarakatnya berpegang pada pesan-pesan leluhurnya yang disebut "PASSANGA RI KAJANG" membuat keaslian budaya dan alamnya tetap bertahan.
Masyarakatnya taat peraturan adat, pola kehidupannya sangat sederhana, pakaiannya serba hitam, bangunan rumahnya seragam dan semuanya menghadap ke utara, Masyarakat kawasan Adat Ammatoa, sampai sekarang mempertahankan kelestarian hutan.
Menurut pesan leluhur mereka pantang merusak hutan, bila ada yang melanggar aturan adat atau pesan leluhur, maka akan dikenakan sanksi yang diputuskan melalui musyawarah adat yang terdiri dari adat Lima Karaeng Tallu.
Di kawasan ini terdapat berbagai atraksi seni seperti music Basing-basing yang didalam memainkannya diiringi dengan lagu yang syairnya berisi pesan tentang kehidupan.
Selain itu terdapat pula seni tari Pabitte Passapu yang menggambarkan permainan sabung ayam. Daerah ini dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang bergelar Ammatoa, Sebagai seorang pemimpin spiritual oleh pengikutnya, maka dianggap sebagai Orang suci dan kepemimpinannya seumur hidup.
Memasuki kawasan ini, Anda diwajibkan menggunakan pakaian hitam sebagai tanda penghargaan dan rasa persaudaraan.
Baca Selengkapnya...
Kawasan Adat Ammatoa Salah Satu Daerah Wisata Di Bulukumba

Keteguhan Masyarakatnya berpegang pada pesan-pesan leluhurnya yang disebut "PASSANGA RI KAJANG" membuat keaslian budaya dan alamnya tetap bertahan.
Masyarakatnya taat peraturan adat, pola kehidupannya sangat sederhana, pakaiannya serba hitam, bangunan rumahnya seragam dan semuanya menghadap ke utara, Masyarakat kawasan Adat Ammatoa, sampai sekarang mempertahankan kelestarian hutan.
Menurut pesan leluhur mereka pantang merusak hutan, bila ada yang melanggar aturan adat atau pesan leluhur, maka akan dikenakan sanksi yang diputuskan melalui musyawarah adat yang terdiri dari adat Lima Karaeng Tallu.
Di kawasan ini terdapat berbagai atraksi seni seperti music Basing-basing yang didalam memainkannya diiringi dengan lagu yang syairnya berisi pesan tentang kehidupan.
Selain itu terdapat pula seni tari Pabitte Passapu yang menggambarkan permainan sabung ayam. Daerah ini dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang bergelar Ammatoa, Sebagai seorang pemimpin spiritual oleh pengikutnya, maka dianggap sebagai Orang suci dan kepemimpinannya seumur hidup.
Memasuki kawasan ini, Anda diwajibkan menggunakan pakaian hitam sebagai tanda penghargaan dan rasa persaudaraan.
Subscribe to:
Posts (Atom)